Kisah Rizal - Di Penjara, Narkoba Tuh banyak Banget
Tidak banyak orang yang berani secara terus terang mengaku dirinya mantan pecandu narkoba, mengingat status tersebut memalukan alias aib bagi keluarga serta masyarakat. Rizal, seorang pemuda usia 22 tahun yang tinggal di kawasan Bintaro adalah salah satu dari sedikit orang yang berani mengakui dirinya mantan pecandu dan ingin mengubah paradigma bahwa korban narkoba bukanlah aib melainkan korban yang butuh pertolongan. Rizal bahkan bersedia diwawancarai oleh SADAR untuk mengisi rubrik "Kisah Nyata" dengan identitas dan foto yang tidak ditutup-tutupi.
Hanya mengenakan kaus dan kain sarung, Rizal menceritakan semua pengalamannya kepada SADAR di Masjid Al-Karim, Bumi Bintaro Permai. Pemuda berperawakan kecil ini mengaku sudah mengecap semua asam garam seorang pecandu - dari tahap mencoba-coba sampai harus menginal di "hotel Prodeo" karena tertangkap polisi. Namun saat ini, ia sudah berangsur pulih dan mulai kembali menata hidupnya serta rajin beribadah, seperti sholat dan mengaji.
Mencoba sejak SMP
Sejak tahun 1998 ketika baru lulus Sekolah Menengah Pertama, Rizal mulai mengkonsumsi narkoba. Awalnya, ia mencoba jenis ganja atau dikenal dengan nama cimeng yang terus ditawarkan teman akrabnya. Waktu itu, Rizal belum tahu kalau barang itu adalah ganja. Temannya selalu mengatakan bahwa barang itu enak, sama seperti rokok. Demikianlah yang sering terjadi. Mereka yang menawarkan saat itu memasang wajah akrab, layaknya teman dekat, bukan wajah seram dan memaksa.
Akhirnya Rizal tidak kuat lagi menolak bujukan tersebut, mulailah ia mencoba ganja walaupun sebelumnya pemuda yang gemar berolah raga ini belum pernah merokok sekalipun. Setelah memakai ganja, ia merasa pusing sekali. "Rasanya pertama kali saya isap itu ya nge-fly gitu. Saya kan curiga rokok kok rasanya pusing banget gini. Lalu saya tanya apaan nih? Baru dia terus terang bahwa itu adalah ganja. Waktu make tuh barang biasanya saya main bola gak gampang capek, setelah make barang itu jadi cepet capek," kenang Rizal.
Sekali-dua kali Rizal memakai ganja, akhirnya ia ketagihan. "Seminggu-dua minggu pertama sih sama dia dikasih gratis, tapi lama kelamaan akhirnya saya harus beli sendiri. Waktu itu harga barangnya masih murah lima ribu, kita bisa dapet satu paket isi tiga," tutur Rizal yang mengaku mendapatkan uang jajan dari ibunya sebesar 10 ribu per hari. Walau begitu Rizal masih bisa mengontrol keinginannya membeli ganja. "Belinya ya kalau ada duit jajan lebih aja, kalau pas-pasan enggak beli," ujarnya.
Alih-alih menjadi kawan yang melindungi dan menyadarkan, sohib karib yang tinggal tidak jauh dari rumahnya inilah yang menjadi aktor terjerumusnya Rizal ke dalam jurang narkoba. Ia kemudian kerap memakai ganja bersama - kadang di kamar Rizal, kadang di kamar sang teman atau di mobil ketika sedang jalan bersama karibnya yang lain.
Pergaulannya pun semakin parah ketika Rizal menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata (SMIP), juga bersama sohib ganjanya tersebut. Di situ Rizal bersama siswa yang lain pernah mencoba semua jenis narkoba, seperti obat jenis rohipnol dan nipam, ekstasi, shabu dan lain-lain. Pada masa itu pula Rizal mulai mencoba jenis putaw yang kian mengukuhkannya menjadi pecandu narkoba.
Awal mencoba putaw pun tidak jauh beda ketika ia mencoba ganja. Lagi-lagi sang teman yang memperkenalkan putaw tersebut. Karena mereka selalu bersama-sama saat berangkat dan pulang sekolah serta aktifitas ''main" lainnya - maka ketika sang sohib memakai putaw, rasa kebersamaan itu pun muncul. Rizal menanyakan terlebih dahulu apa barang yang dipakai oleh karibnya tersebut. Kemudian dengan sedikit bujukan, akhirnya Rizal mencoba putaw tersebut. "Alhamdulillah saya gak pernah make putaw dengan cara suntik, karena kan bahaya. Saya makenya dengan cara dihisap atau di-drugs," ujar anak pertama dari dua bersaudara ini.
Ikut Ujian dalam Kondisi Mabok
Masa-masa paling suram ketika dirinya menjadi seorang pecandu, diakui Rizal ketika ia menempuh pendidikan di SMIP. Hampir setiap hari ia memakai barang haram tersebut. Padahal minimal ia harus mengeluarkan uang sebesar ratusan rupiah per harinya untuk membeli barang haram tersebit. "Harga putaw dulu emang masih murah, 20 ribu masih bisa make kita. Satu hari saya make tiga kali. Pagi, siang dan malam. Semuanya sudah halal kalau jadi pecandu putaw. Jual ini dan itu, barang di kamar sampai habis. komputer, televisi, tape, 2 unit HP, dan lain-lain," ujar Rizal. Bahkan Rizal mengaku pernah make putaw satu g (satu baris, Red) dalam sehari, saat ia dan teman-temannya merayakan tahun baru. Ketika itu ia sampai muntah-muntah dan mengeluarkan darah di hidungnya atau mimisan.
Ada satu pengalaman yang tidak bisa dilupakan Rizal, yakni ketika ia memakai putaw di saat sedang menjalani ujian di sekolah. "Suatu waktu saya inget banget sebelum berangkat sekolah pas lagi ujian kita make putaw dulu di rumah teman saya itu. Pas lagi ujian, kita ngerjain soal tuh pas lagi pedaw abis (mabuk karena putaw, Red). Tapi akhirnya kita lulus juga," ucap Rizal sambil tersenyum.
Diculik ke Padang
Tidak bisa dipungkiri karakter seseorang dipengaruhi oleh masa kecilnya, termasuk didikan yang diberikan orang tua sedari kanak-kanak. Ketika kecil, Rizal mengaku bahwa ia sudah harus menghadapi kenyataan pahit perpisahan kedua orang tuanya. Bahkan ia harus rela diasuh secara paksa atau diculik oleh ayahnya ketika ia berumur lima tahun. Waktu ia, kenang Rizal, ia disuruh ibunya membeli sesuatu di warung namun tiba-tiba ayahnya turun dari bajaj dan mengajaknya pergi. Rizal tidak menyangka akan diajak pergi jauh oleh ayahnya yaitu ke Padang dan tidak pulang lagi ke pelukan sang ibu.
Di Padang, Rizal disekolahkan oleh sang ayah di sekolah dasar dekat tempat tinggalnya. Karena kesibukan ayahnya, Rizal mengaku tidak diperhatikan oleh beliau. "Saya tidak keurus abis di situ. Memang dikasih uang, tapi yang namanya perhatian kan perlu juga. Dia pagi keluar, malem baru bail. Jadi saya gak keurus. Rapor saya merah semua, karena gak pernah belajar, orang maen terus. Sekolah pagi, pulangnya langsung maen, balik-balik malem. Terus ngaji, balik ke rumah, dan tidur. Gitu terus setiap hari," ucap anak lelaku satu-satunya dalam keluarga ini.
Ancaman sang ibu yang akan melaporkan suaminya bila tidak mengembalikan Rizal memaksa si ayah membawa kembali Rizal ke Jakarta. "Waktu itu saya kurus banget, karena gak keurus. Ibu saya aja sampai heran, anak saya diapain nih, katanya ke bapak. Gua juga sampe lupa punya adik perempuan di Jakarta. Gua pikir ini siapa kok cakep banget, ternyata adik gue sendiri. Di Jakarta disekolahin lagi, lanjutin SD kelas enam. Disini diurusin sama ibu, jauh banget kasih sayang Bapak sama Ibu. Bapak tahunya ngasih duit, tapi perhatiannya kurang," ujar Rizal panjang lebar.
Titik Balik Kehidupan
Satu siang, tidak biasanya sang kawan datang ke rumah. Sebenarnya ibunda Rizal sudah melarang anaknya keluar rumah, tapi dengan alasan sebentar saja keluar rumahnya, sang ibu pun memberi izin. Tidak disangka itulah awal mula petaka yang paling berat yang harus dialami Rizal.
"Saya dijebak oleh teman saya. Jadi oleh teman saya itu, saya dipaksa beli barang," tutur Rizal. Meski saat itu Rizal menolak, sang teman tetap memaksa ia datang mengambil barang tersebut. Karena duit yang dibawa pas-pasan, Rizal pun naik sepeda bergegas menuju ke rumah sang bandar. "Tempatnya di pom bensin deket perumahan ini. Sepeda saya taruh, terus saya jalan ke atas. Balik bawa barang. Terus tiba-tiba di belakang, ada orang naik motor King ke arah saya. Padahal waktu itu di deket saya ada tukang koran bekas. Insting menjual saya keluar. Karena ada koran bekas di rumah, saya sempet nanya ke tukan koran itu, bang sekilonya berapa? Tapi tiba-tiba orang yang naik motor itu berhenti di deket saya. Saya naluriah merespon, langsung menjatuhkan sepeda lalu saya lari. untung dia gak nembak. Saya beli BB dua, yang satu udah saya buang, yang satu gak sempet karena susah banget dibuang dari kantong. Setelah kejar-kejaran ama polisi akhirnya gua ketangkep, kepala gua diinjek dan ditodong pistol ama polisi," cerita Rizal panjang lebar.
Pengalaman menginap di balik jeruji besi memang menjadi pengalaman paling pahit yang harus dialami Rizal. Pengalaman pahit ini menjadi kunci mengapa Rizal ingin sembuh dari kecanduannya. Saat itu ia merasa sangat sedih sekali kenapa sampai harus menringkuk di balik penjara dan membuat malu keluarganya. Semenjak itu Rizal mengaku kembali menjalankan sholat dan rajin mengaji.
Saat itu ibu dan ayah tirinya bekerja keras mengurusi Rizal di penjara dan di pengadilan. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Rizal mendapat keringanan hukuman yang tadinya 12 bulan subsider 2 bulan menjadi 10 bulan subsider 2 bulan penjara. Walaupun untuk itu sudah banyak uang yang dikeluarkan keluarganya.
Pengalaman di penjara membuat Rizal jadi tahu sifat macam-macam penjahat. "Mereka pada cerita, ada yang ngerampok, ngebunuh. Dalam hati gua berpikir, mereka sebenarnya yang penjahat, gua sih bukan, gua cuma korban," ungkap pria yang pernah diberi uang oleh Roy Marten ketika berada di penjara tersebut.
Rizal memang bertekad ingin sembuh waktu itu, tetapi lingkungan penjara sangat tidak mendukung. "Di penjara narkoba tuh banyak banget. Makanya saya masih bisa make di penjara. Apa aja di situ ada. Ganja, putaw, anggur. Akhirnya saya beberapa kali memakai narkoba di sama," Rizal menambahkan.
Makhluk Bernama Amir
Kamis, 30 Juni 2006 Rizal akhirnya bebas. Namun ia masih khawatir, niatnya untuk sembuh dari narkoba bisa berantakan apabila terus dipengaruhi teman-temannya lagi. Diakui Rizal, ia sempat make beberapa kali ketika baru pertama kali bebas. Namun beruntung ada sekelompok teman-temannya yang baik di komplek mengajaknya untuk bergabung di kegiatan masjid.
"Mereka bilang lu mau sembuh gak. Gabung aja sama kita di masjid. Kemudian teman-teman saya melobi Om bagus, salah satu pengajar di Masjid Al Karim yang katanya bisa membantu saya sembuh. Om Bagus kemudian memberikan syarat harus ikut kuliah dan sholat lima waktu. Bahkan selama seminggu saya harus tirakat setiap hari pada waktu Maghrib dab Isya. Semenjak itu saya drug free, sampai sekarang sudah sekitar empat bulan. Om Bagus juga kalau sempat selalu menerapi saya. Bentuk terapinya ketika saya ingin mencoba narkoba ada penampakan makhluk yang besar sekali yang ngingetin saya untuk tidak menggunakan narkoba. Kalau saya maksa untuk nyoba, dia marah dan kalau dia udah marah saya bisa merasa sakit dan ketakutan. Jadinya ya, saya gak berani nyoba lagi. Namanya makhluk itu Amir kalau gak salah. Pokoknya dia serem banget, tinggi gede. Baunya seperti kemenyan, gak enak pokoknya!" tegas Rizal.
Keinginannya untuk membangun keluarga, membahagiakan orang tua dan membuktukan bahwa anak yang dibangga-banggakan ini tidak seburuk yang mereka kira, merupakan modal kuat Rizal untuk pulih dari kecanduan narkoba. Tidak lupa Rizal berpesan kepada pembaca SADAR agar menghindari narkoba "Hindari aja barang-barang kayak gitu. Gak ada manfaatnya juga, itu hanya kesenangan sementara aja. Karena lu bisa ngabisin duit. Lingkungan sekitar rumah kita jadi gak tenang, gak damai, jiwa dan hati kita juga gak tenang, selalu dicari-cari. mending kita apa adanya aja nikmatin hidup ini. Untuk yang belum makai, hindari aja. Jangan sampai menyentuh apalagi mencoba. mending cari kegiatan lain yang positif," ujarnya mantap menutup obrolan malam itu. (SADAR BNN November 2006 / Adi KSG IV)
Oleh: SADAR BNN November 2006 / Adi KSG IV [20 Desember 2006, : WIB]
0 comments to “Kisah Rizal - Di Penjara, Narkoba Tuh banyak Banget”